Sederet nama terkenal seperti Nurcholis Madjid, H Muhammad Maftuh
Basyuni, KH Hasyim Muzadi, Emha Ainun Nadjib, Din Syamsudin, dan AS
Panji Gumilang adalah para alumni Pesantren Gontor, di Jawa Timur.
Mereka semua telah mampu menginspirasi masyarakat melalui karya-karya
mereka melalui pemikiran, tulisan, dan model kepemimpinan umat.
Begitu pula dengan KH Muhammad Ma’mun, Pengasuh Pondok Pesantren
(Pontren) Dar El Falaah, Pandeglang, Banten yang satu angkatan dengan
Din Syamsudin ketika mondok di Gontor ini telah berkarya melalui
pesantren pada tataran lokal di wilayah Pandeglang, Banten. Para alumni
Pontren Modern Daar El Falaah telah menyebar luas di masyarakat, baik
sebagai teknokrat, ekonom maupun berbagai bentuk pengabdian lain.
“Karena saya alumni Gontor, maka saya banyak mengambil inpirasi dan
langkah-langkah yang telah dilakukan selama mondok. Langkah itu misalnya
kepemilikan pesantren bukan dimiliki oleh pengasuh atau kiainya, akan
tetapi oleh badan wakaf pesantren, sementara dalam pembelajarannya
selain belajar ilmu agama, saya putuskan untuk menginduk ke Kementerian
Pendidikan Nasional,” ujar KH Mumammad Ma’mum kepada Pelita, Rabu
(15/9).
Menurutnya, sistem Gontor bertumpu pada sistem dan tidak bergantung
kepada individu. Dulu banyak pesantren bila pengasuhanya atau kiainya
wafat, maka pesantrennya juga ikut mati. Kehadiran Pontren Dar El
Falaah, kata Muhammad Ma’mun semata-mata untuk memenangkan agama Allah
SWT, karena agama Islam diturunkan Allah untuk dimenangkan.
Muhammad Ma’mun menceritakan setelah aktif di mimbar-mimbar selama 13
tahun melalui metode ceramah, ternyata apa yang disampaikan itu hanya
bertahan satu minggu, selanjutnya para jemaah lupa dengan apa yang
disampaikan.
“Dari situ, saya berfikir untuk menciptakan kader, karena saya punya
pengalaman mondok, akhirnya saya membuat pesantren, kata Muhammad
Ma’mun,” ujarnya.
Namun, untuk memulai mendirikan Pesantren Daar El Falaah, ternyata
tidak semudah yang dibayangkan. Awal berdirinya Daar El Falaah berangkat
dari nol. Pada mulanya hanya memanfaatkan sebidang tanah dari orang
tuanya yang telah diberi izin untuk memanfaatkan lahan tersebut.
Perjuangan mendirikan pesantren harus penuh dengan kesabaran.
Pada tahun 1994, mulai mencari dana untuk pembangunan pesantren,
selama dua tahun berjuang, uang terkumpul mencapai Rp3 juta. Padahal
dana yang dibutuhkan mencapai Rp3,5 miliar.
“Dari situ saya mulai melangkah, dan alhamdulillah pada 1996, dalam
setahun berdiri tiga lokal kelas. Pada mulanya santri berasal dari
Cengkareng empat orang dan satu orang dari Pasar Minggu. Sekarang jumlah
santri telah mencapai 520 orang,” katanya.
Menurut Mumammad Ma’mun, untuk membekali para santri, selain
penguasaan bahasa seperti model Pesantren Gontor, pada tingkatan SMP,
para santri diharapkan dapat menghafalkan Juz Amma serta terjemahannya.
Pertimbangannya adalah banyak siswa selama ini membaca Al-Qur’an tapi
tidak mengetahui artinya.
“Kenapa yang harus dihapal Juz Amma? Karena surat-surat yang biasa dibaca dalam shalat,” ujarnya.
Dengan metode penghafalan seperti itu, pada tingkatan SMP, para
santri sudah dapat memahami apa-apa yang dibacanya. Sementara pada
tingkatan SMA, para santri mulai menghafal surat-surat panjang dengan
artinya. Metode itu tidak ditujukan untuk memberatkan para santri.
“Meski ada kritik atas metode itu, tapi kami berargumentasi belum tentu pada tingkatan kuliah diajarkan,” ujarnya.
Metode itu, kata Mumammad Ma’mun mampu meningkatkan prestasi para santri sehingga banyak yang berprestasi.
Sementara Direktur Pontren Daar El Falaah K Syarif Usman, MA
mengatakan, salah satu keunggulan Pontren Daar El Falaah adalah
mengembangkan kemampuan santri untuk melakukan riset atau penelitian
ilmiah. Salah satu studi yang diajarkan dalam kurikulum pesantren adalah
metode penelitian ilmiah.
“Bila di perguruan tinggi pelajaran itu baru diajarkan pada semester
lima, namun di Daar El Falaah sudah mulai diberikan di Kelas I SMP,”
ujar Syarif.
Metode penelitan ilmiah yang diajarkan pesantren, menurut alumni
Gontor kelahiran Gunung Batu Bogor ini, merupakan mata pelajaran
tersendiri.
Sasaran yang dihendak dicapai, menurut Syarif agar santri memiliki semangat dan gairah untuk melakukan berbagai penelitian.
“Dengan melakukan metode penelitian, dalam belajar para santri
memiliki motivasi yang sangat tinggi, pelajaran apapun bisa dijadikan
bahan penelitian, baik di bidang sosial maupun di bidang MIPA,” katanya.
Dalam bidang MIPA, para santri saat ini sedang menggandrungi biologi
terapan, seperti membudidayakan tanaman obat dan membuat Crude Palm Oil
(CPO) berupa minyak murni.
“Para santri juga diberikan keterampilan tatacara meramu berbagai tanamana agar bisa dimanfaatkan,” katanya.
Meski memiliki fasilitas laboratorium sederhana, namun kata Syarif,
hal itu tidak mengurangi dedikasi dan loyalitas para staf pengajar untuk
memberikan pengabdian terbaik bagi seluruh sivitas akademika Daar El
Falaah.
“Para santri banyak meraih prestasi seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja
(LKIR) hampir setiap tahun, prestasi ini telah menjadi kebanggaan
Kabupaten Pandeglang dalam berbagai kompetisi di tingkat provinsi,”
ujarnya.
Daar El Falaah selain memberikan kecakapan hidup, kata Syarif, juga
memperkuat kecakapan mental. Kemampaun mental dalam beriteraksi bagi
para santri sehingga terbentuk produktivitas tinggi, itu dapat terbangun
oleh sistem pesantren dengan dukungan lingkungan yang memadai.
“Semua santri akan merasakan bagaimana dibimbing, dipimpin, dan memimpin,” urainya.
Suasana pendidikan dan pembelajaran di Daar El Falaah tidak terlepas
dari lima jiwa atau panca jiwa, yaitu Jiwa Keikhlasan, Jiwa
Kesejahteraan, Jiwa Berdikari, Jiwa Kebebasan, dan Jiwa Ukhuwah
Islamiyah.(encep azis muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar